Baca Juga
![]() |
ILUSTRASI |
Lembaga Bantuan Hukum Peduli Rakyat Indonesia (LBHPRI) secara resmi melaporkan pergeseran Postur APBD 60 M untuk dana Pokir 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Raba Bima.
Laporan resmi diterima oleh pihak Kejaksaan Negeri Raba Bima pada hari Selasa, 29 Juli 2025, pukul 15:00 WITA. Rombongan LBHPRI yang dipimpin oleh Direktur Imam Muhajir datang dengan membawa tumpukan berkas yang diyakini sebagai bukti awal yang kuat.
Dari hasil penelusuran di berbagai desa, pihaknya menemukan pola yang mengkhawatirkan. Bahkan mendengar langsung keluhan warga mengenai kebutuhan-kebutuhan mendesak, seperti sulitnya akses air bersih atau rusaknya saluran irigasi vital, yang ternyata tidak terakomodasi dalam proyek-proyek Pokir ini.
Sebaliknya, yang muncul justru proyek-proyek seragam yang menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini benar-benar aspirasi rakyat, atau aspirasi yang sengaja diciptakan untuk mempermudah ‘pengaturan’ proyek?
"Ini adalah indikasi kuat bahwa fungsi penganggaran telah melenceng jauh dari tujuannya," bebernya.
Anggota tim lainnya, Bung Ipul, menyoroti aspek yuridis dari temuan tersebut. Selain potensi pelanggaran Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait gratifikasi, kami juga melihat adanya pelanggaran serius terhadap Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah.
"DPRD telah melampaui kewenangannya dengan bertindak sebagai eksekutor proyek, yang seharusnya menjadi ranah eksekutif,” jelasnya.
Sementara itu, Bung Mhikel menyuarakan dampak langsung dari dugaan praktik korupsi ini kepada masyarakat. APBD 60 miliar itu bukan angka yang kecil. Bayangkan berapa banyak sekolah, puskesmas, atau sarana vital lainnya yang bisa dibangun. Akibat praktik ini, masyarakat bawah yang paling dirugikan.
"Mereka terus menunggu pembangunan yang tak kunjung datang karena dananya diduga telah disalahgunakan," ungkapnya.
Bung Arif turut berkomentar mengenai rusaknya sistem ketatanegaraan. Ketika legislatif yang seharusnya mengawasi justru ikut bermain proyek, maka pilar checks and balances runtuh.
"Ini adalah preseden yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik di Kabupaten Bima. Ada konflik kepentingan yang sangat jelas di sini," sebutnya.
Sebagai penutup, Bung Muhlis menyampaikan harapan besar dari LBHPRI dan masyarakat Bima kepada aparat penegak hukum. “Kami telah menyerahkan data dan bukti awal. Sekarang, bola ada di tangan Kejaksaan Negeri Raba Bima. Kami mendesak agar laporan ini ditindaklanjuti secara serius, profesional, dan transparan. Jangan biarkan kepercayaan rakyat kepada institusi negara ini kembali terkikis,” pungkasnya.
Dengan diserahkannya laporan ini, LBHPRI berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum hingga tuntas demi memastikan keadilan dan akuntabilitas ditegakkan di Kabupaten Bima.
0 Komentar