Baca Juga
INDO DATA merupakan salah satu Lembaga Survei ternama dan bahkan sudah diakui oleh KPU. Lembaga survei yang berada pada urutan ke 25 dari 40 lembaga survei tersebut, baru-baru ini telah mempublikasikan hasil survei untuk Pilkada Kabupaten Bima 2020.
Data hasil survei lembaga yang dipimpin Danis Tri Saputra Wibono menyebutkan, dari beberapa sosok yang bakal mencalonkan diri, Hj.Indah Damayanti Putri,SE (IDP) berada pada posisi tertinggi dengan Raihan 24,5 persen.
Pro kontrak atas hasil survey tersebut terus bermunculan. Ada yang menyebut hasil survey itu bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya. Bahkan, ada pula yang menduga hasil survey dalam kaitan ditunggangi kepentingan.
Kendati demikian, ada yang menarik dari hasil survei lembaga yang sudah melakukan survei di 30 Daerah di Indonesia tersebut. Salah satunya, menyangkut elektabilitas dan popularitas antara Drs.H.Syafrudin,HM.Nur dan Adi Mahyudi. Pasalnya, Adi Mahyudin lebih unggul dibanding H.Syafrudin. Adi meraih 11,50 persen dan Syafrudin hanya 1,25 persen.
Bagi masyarakat Bima, Dua politisi dimaksud cukup dikenal. Baik kemampuan, pengalaman nya maupun karier dalam dunia politik. H.Syafrudin pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Bima, Wakil Bupati (Wabup) Bima dan bahkan menjadi Bupati Bima. Meski, melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan mendiang almarhum H.Feri Zulkarnain,ST. Sementara, Adi Mahyudin pernah menduduki Kursi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima, Ketua DPD PAN kabupaten Bima dan saat ini adalah Anggota DPRD NTB.
Praktis, dua politisi dimaksud akan berpasangan pada Pesta Demokrasi Lima Tahunan tersebut. Syafrudin sebagai bakal calon Bupati (cabup), sementara Adi bakal calon wakil bupati (cawabup). Bakal pasangan calon (Paslon) Syafrudin - Adi Mahyudi (SAFA'AD) tersebut akan menjadi rival IDP, politisi Srikandi Golkar yang saat ini menjadi Bupati Bima.
Memang ada sebagian yang terkesan tidak mempercayai dengan hasil survey tersebut. Namun, hal itu setidaknya menjadi modal bagi bakal calon untuk meraih kemenangan pada kompetisi politik dalam memperebutkan kursi kepemimpinan Lima Tahun mendatang. Tak hanya itu, hasil survey bahkan akan menjadi pedoman atau tolok ukur partai politik (parpol) dalam menentukan keputusan terkait bakal kandidat yang diusung. Salah satunya partai Nasdem yang diinformasikan akan mengusulkan Dua Nama ke DPP Nasdem, yakni Syafrudin dan IDP.
"Pedoman partai Nasdem adalah hasil survey. Tentunya, hasil survey dari lembaga yang ditunjuk oleh Nasdem," kata Ketua DPD Nasdem Kabupaten Bima, Raihan belum lama ini.
Pro kontra terkait hasil survey adalah hal yang lumrah. Mengingat, ada pihak yang diuntungkan dan juga dirugikan. Tapi bukan berarti harus b mengabaikan hasil survey. Apalagi, sudah banyak raihan kemenangan dalam pesta demokrasi yang berpedoman pada data hasil survey.
Fakta itu terbukti saat Pilpres 2004 lalu. SBY meraih kemenangan berturut-turut pada dua pilpres. Tak hanya SBY, Amien Rais yang sempat mengamuk atas hasil survei pun akhirnya mengakui data hasil survei.
Dalam Artikel yang ditulis Dea Anugerah, pada awal 2004, berbagai lembaga survei menyatakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kandidat terkuat presiden. Tetapi partai Demokrat yang ia dirikan hanya memperoleh sedikit dukungan. Karena perbedaan popularitas yang kelewat besar di antara keduanya.
Menurut Mietzner, pemimpin partai-partai besar seperti Golkar dan PDI Perjuangan mencemooh hasil jajak-jajak pendapat itu sebagai “potret fenomena sementara yang cacat metodologis.” Mereka mengira popularitas Yudhoyono bakal terbenam begitu mesin partai masing-masing telah dinyalakan.
Faktanya, SBY menang pada pemilihan umum presiden (Pilpres) 2004 dengan raupan suara 33,57 persen pada putaran pertama dan 60,62 persen pada putaran kedua.
Artinya, keyakinan bahwa partai sanggup menggembalakan suara goyah habis-habisan; toh kandidat populer tanpa dukungan partai kuat sanggup mengatasi pengelompokan masyarakat Indonesia berdasarkan ukuran-ukuran sosial-politik dan keagamaan, serta menarik suara dari elektorat yang beragam.
Kaum elite politik Indonesia pun belajar lewat cara yang menyakitkan untuk tidak meremehkan data. Salah satu di antara mereka ialah Amien Rais, orang yang pernah mengamuk karena mengira lembaga-lembaga survei telah dengan sengaja hanya mewawancarai responden yang membencinya.
“Bagi Amien, hasil pemilu dan ketepatan prediksi lembaga-lembaga survei bahwa ia akan jadi calon presiden dengan jumlah suara nomor dua dari bawah menandakan akhir karier politiknya,” tulis Mietzner. “Pada 2005, ia mengumumkan pengunduran diri selaku ketua Partai Amanat Nasional dan bersumpah tak bakal kembali mencalonkan diri sebagai presiden.”
Pada awal 2006, tidak ada partai politik besar di Indonesia yang tak mengandalkan survei politik untuk menentukan calon-calon gubernur dan anggota badan legislatif daerah mereka.(TIM)
0 Komentar